Chapters

Par 4:06 AM

Par[1]

Seorang lelaki berambut gelap cepak sedang menyetir mobilnya dengan wajah yang muram. Terlihat dengan jelas oleh pantulan cahaya bulan bahwa lelaki itu sedang marah terhadap siapa dan apa. Dia melihat ke depan saat mengemudi dan tiba-tiba ponselnya bergetar. Dia menghela nafas dan tidak bermaksud mengangkatnya, hanya membiarkannya begitu saja karena dia pikir itu adalah orang yang sama yang daritadi terus meneleponnya. Lebih baik kubiarkan saja, pikir lelaki itu. Tapi saat dia melirik dan melihat id yang berbeda, dengan segera dia mengangkatnya.

”Sungguh kehormatan seorang Clyde mau meneleponku.” kata lelaki itu dengan sarkasme di nadanya.

Orang yang di seberang telepon –adalah seorang lelaki- tertawa kecil mendengar perkataan lelaki berambut gelap itu. Sambil memegang telepon, dia tetap menyetir dengan hati-hati agar tidak terjadi hal yang tidak diharapkan.

”Maaf, maaf, memangnya ada apa Night?” tanya suara dari seberang telepon lelaki bernama Night itu.

”Berapa nama yang kau punya sebenarnya Clyde?” tanya Night setelah ia mengambil nafas dalam-dalam. Dia menyetir dengan tangan kanannya dan membuat belokan di perempatan.

”Err...tiga?” Bisa dibayangkan bahwa lelaki di seberang telepon itu sedang memberi cengiran dan itu membuat Night hanya bisa menghela nafas. Dia berhenti setelah melakukan belokan di lampu hijau. Dia membelok dengan cepat dan karena terpusat pada telepon, dia tidak begitu memperhatikan bahwa dia hampir menabrak seorang perempuan. Kemudian, Nightpun berhenti di depan satu toko yang sudah tutup dan terletak di sebelah kiri jalan yang agak jauh dari lampu lalu lintas tadi dan setelahnya, ia melanjutkan pembicaraannya kembali.

”Oke, apa di antaranya ada yang bernama Kevin?” tanya Night dengan kesal.

Clyde hanya terdiam sesaat sebelum tertawa kecil yang membuat amarah Night makin menjadi-jadi. ”Dengar, lain kali jangan memakai idku untuk berkenalan dengan seorang wanita dan yang paling utama. Jangan memberikan nomor teleponku! Kau mengerti?!”

Clyde hanya menyengir saja mendengar teriakan dari temannya itu. ”Oke, akan kuusahakan. Boleh aku tahu sesuatu?”

”Apa?” jawab Night dengan malas.

”Memangnya dia meneleponmu?”

”Kalau tidak, mungkinkah aku bisa semarah ini padamu?” tanya Night dengan nada yang makin meninggi.

”Apa dia mengirimkan pesan?” tanya Clyde lagi. Oke, ini mulai membuat Night kesal. Apakah tidak ada hal yang lain harus dikatakannya? Maaf misalnya? Tapi, Night sudah paham sikap sahabatnya itu dan tahu tidak dapat mengubahnya jadi dia mengangguk dan menjawab ’Ya’ pada pertanyaan terakhir Clyde.

”Apa yang dia kirimkan? Bisa kau bacakan?” pinta Clyde. Night segera membuka inbox yang dari tadi tidak dia buka karena malas kalau-kalau itu benar dari gadis yang terus-terusan meneleponnya.

”Apa yang dia tulis, Night?” tanya Clyde lagi karena tidak mendapat jawaban dari temannya itu. Night, di lain pihak, sedang berusaha menghafalkan pesan itu dan kemudian membacakannya kepada Clyde.

The rain started to fall

Soon, the war will begin

And the tears from the Princess is the sign

Just beware, my knight

Oke, ini mulai aneh, pikir Night. Dia tidak tahu apa maksud dari isi pesan tersebut, tapi dia yakin temannya tahu sesuatu. ”Kau tahu sesuatu.” Itu bukan pertanyaan, lebih tepatnya itu adalah pernyataan dan itu benar. Clyde memang tahu sesuatu tentang isi pesan itu.

-x-

Clyde, di seberang telepon, sedang berpikir keras maksud dari pesan yang dibacakan Night tadi. Sembari menelepon dan mendengarkannya dengan menggunakan headset, Clyde sedang melakukan tugasnya. Dia memakai sarung tangan hitam di kedua tangannya dengan hati-hati sehingga tidak meninggalkan sidik jari dan perlahan-lahan membuka pintu yang tadi baru saja di’buka’nya. Dengan mengendap-endap, dia masuk ke dalam ruangan itu seperti pencuri. Setelahnya, dia berjalan sampai ke satu pintu lain lagi di dalam ruangan tersebut dan memutar kenop pintu dengan pelan.

Setelah membuka pintu itu, ternyata terdapat ruang tidur dan di atas ranjang, terdapat seorang lelaki dan seorang wanita dalam keadaan setengah telanjang. Sang lelaki yang merupakan lelaki tua berambut hitam karena disemir dan berkumis hitam serta dengan tubuh yang sedikit gemuk sedang tertidur lelap dan mendengkur keras. Untung saja aku sudah memakai headset, kalau tidak bisa-bisa konsentrasiku terganggu dan semuanya akan gagal, pikir Clyde. Dia mengeluarkan sebuah pisau kecil dari ikat pinggangnya dan pisau itu silau karena terkena pantulan sinar bulan yang tembus dari jendela di ruangan tersebut. Pisau itu pelan-pelan dia letakkan dia atas leher lelaki tersebut. Clyde memandangnya dengan tatapan dingin disertai amarah. Kemudian dia menyelesaikan tugasnya dengan baik dan dia tidak meninggalkan jejak satupun bahwa dia berada di sini, dan takkan ada yang tahu, bahkan termasuk wanita yang sedang tertidur lelap di sebelah pria itu.

Clyde merasa yakin bahwa semuanya sudah beres dan segera keluar dari ruangan itu tanpa ketahuan seperti sebelumnya. Dia datang dan pergi seperti angin. Tapi, dia terhenti sebentar sebelum keluar dari mansion itu. Dia terhenti karena terpesona oleh keindahan bulan yang sedang bersinar malam itu. Bulan itu adalah bulan purnama, bulan penuh dan Clyde merasa terhanyut saat menatapnya. Dalam cahaya bulan itu pulalah, sosok Clyde itu terlihat jelas. Dia tak lain dan tak bukan adalah Altus, lelaki yang ditemui Vanille tadi. Suara di seberangnya menyadarkan Clyde kembali dan dengan segera dia menyelesaikan tugasnya.

”Clyde?”

-x-

Oke, Night sudah mulai lelah menunggu cukup lama ketika dia tidak mendapat jawaban dari temannya itu. Mungkinkah Clyde sedang bekerja sehingga dia terhenti sebentar? Ya, itu mungkin saja, pikir Night. Tapi, dia tidak bisa tidak memanggil namanya untuk mengambil perhatian temannya itu lagi. ”Clyde?”

”Ah, oh, Night? Maaf, maaf, perhatianku teralih oleh sinar bulan yang begitu indah itu. Sampai di mana kita tadi? Oh, iya. Pesan dari Stella!” jawab Clyde dengan senyuman dan sembari berjalan menuju ke tempat yang biasa ia kunjungi, Gereja Vela de Blanco.

”Iya, iya, pesan dari gadis bernama Stella tadi. Pesan yang cukup aneh, kau mengerti?” tanya Night sembari menggelengkan kepalanya tanda bahwa dia bingung dan tidak berhasil menemukan jawaban.

”Err...tentu saja aku tidak tahu.” Clyde menjawab dengan menyeringai yang membuat Night bingung tak tahu harus berbuat apa.

”Clyde, bisakah kau bersikap serius untuk beberapa saat saja?” tanya Night yang dia tahu takkan terjawab sepenuhnya.

”Aku selalu serius kok, especially to my lovely friend.”

Whatever.”

Tiba-tiba kaca pengemudi itu diketok oleh seseorang. Night merasa dia tidak melakukan kesalahan karena dia pikir dia parkir pada tempatnya. Night berpikir bahwa yang mengetuk jendelanya adalah seorang polisi dan setelah cukup lama orang itu mengetok jendela Night, akhirnya Night mendongak untuk melihat orang tersebut. Dia melihat seorang gadis berambut panjang yang dia biarkan terurai memakai celana jeans ketat yang panjang dan baju t-shirt biasa, yang menurut Night sangat pas untuk gadis itu. Night pikir itu hanya seorang sales yang sedang mau menjual produknya. Dia mengangkat tangannya dan menunjukkan angka lima seolah-olah dia tidak mau menerima apapun yang dia tawarkan kepadanya. Karena kesal, akhirnya gadis itupun berteriak, ”Brengsek, buka pintunya! Aku mau bicara!”

-x-

Malam itu, Luce bermaksud untuk bersantai sejenak karena dia terlalu lelah hari itu. Setelah menjemput Vanille dari gereja dan membantu dia memasak, –memasak yang diartikan Luce adalah membantu meletakkan piring di meja makan dan tidak masuk ke dapur sama sekali- segera dia mengurus kepentingan ’keluarga’nya itu. Dia bekerja di tiga tempat sekaligus untuk membiayai mereka. Sebagai pelayan di sebuah restoran Cina yang cukup terkenal di daerah itu, sebagai pembagi brosur kepada orang-orang di jalanan dan terakhir –pekerjaan yang paling ia suka- yaitu melatih bela diri kepada beberapa anak SMP-SMA.

Bagi orang-orang, melakukan 3 pekerjaan sekaligus seperti itu tidak mungkin. Bukan karena tidak kuat, tapi karena tidak mungkin melakukan 3 pekerjaan dalam satu hari seperti itu. Pasti sulit untuk membagi waktunya, tapi bagi Luce, hal itu bukan masalah. Membagi waktu adalah hal yang paling bisa dia lakukan.

Saat itu dia sedang berjalan pulang dari pekerjaan terkakhirnya, yaitu mengajar bela diri di salah satu rumah muridnya. Dan dia bermaksud untuk bersantai sambil membeli beberapa makanan untuk makan malam mereka agar Vanille tidak terlalu kelelahan untuk memasak. Akhirnya, diapun pergi ke supermarket dan membeli beberapa makanan ringan dan instant kemudian berjalan hingga ia melihat tanda lampu merah bagi pejalan kaki menyala. Dia berhenti di sudut jalan dan meletakkan barang bawaannya untuk beristirahat sejenak.

Sudah jam 11 lebih, semoga Vanille dan yang lainnya tidak khawatir, pikir Luce. Tiba-tiba dia melihat dari arah sebelah kanan terdapat sebuah mobil sport hitam yang menyetir dengan kecepatan yang cukup cepat. Tapi, yang Luce perhatikan bukanlah siapa yang menyetir, tapi lebih ke bagaimana cara orang itu menyetir dan berpikir bahwa siapapun yang menyetir pasti tidak sayang terhadap mobilnya yang mahal. Lalu, tanpa terduga, mobil itu sepertinya tidak terlalu memperhatikan lampu kuning yang sudah menyala dan berganti merah. Lucepun juga tidak begitu memperhatikannya. Setelah ia melihat lampu berganti menjadi hijau, dengan segera dia mengambil barangnya dan mulai menyeberang, tapi tiba-tiba mobil sport hitam tadi hendak menabraknya. Untung refleksnya cepat. Dia selamat, tapi tidak dengan beberapa belanjaannya.

Luce kesal, uangnya jadi harus berakhir sia-sia hanya karena seorang pengemudi yang tidak memperhatikan jalan. Untung orang itu adalah Luce, bagaimana kalau itu adalah orang lain yang refleksnya kurang bagus dan terluka gara-gara orang itu? Luce geram. Dia mengambil beberapa belanjaannya yang masih bisa terselamatkan dan segera berbalik untuk mengejar mobil itu.

Orang-orang mungkin akan berpikir dia gila, tapi Luce tidak peduli. Dia harus mengejar dan memarahi pengemudi itu, malam itu juga dan sekali Luce sudah menentukan pilihan, dia akan melakukannya apapun yang terjadi. Sepertinya Tuhan mendengar doanya, karena mobil itu berhenti dan Luce tidak menghabiskan waktu untuk mengejarnya. Dia segera berlari dengan barang bawaannya. Tapi, mobil itu lumayan jauh sehingga Luce memakan waktu cukup lama untuk meraih mobil itu. Dia berharap kalau mobil itu tidak pergi dengan cepat.

Akhirnya, setelah berlari cukup lama, dia berhasil meraih mobil itu dan segera mengetok kaca pengemudi itu. Satu dua kali, Luce masih bersabar. Tapi saat sudah mencapai yang kelima kali ditambah dengan lelaki muda yang mengemudi itu mengangkat tangan seolah-olah dia berpikir bahwa Luce adalah seorang sales yang sedang menawarkan barangnya, Luce tidak bisa berpikir jernih lagi dan segera berteriak sambil memukul jendela itu dengan keras. ”Brengsek, buka pintunya! Aku mau bicara!”

Sepertinya lelaki itu mendengarnya dan menghentikan pembicaraannya di telepon.

-x-

”Kurasa ada yang memanggilmu, Night. Oke, kita lanjutkan ini besok saja ya. Kalau ada pesan dari Stella lagi, kau harus segera memberitahuku, oke? Thanks. Good night, bro.” Dan saat itu juga Clyde –atau Altus- menutup teleponnya.

Night menghela nafas dan menutup teleponnya lalu mengalihkan pandangannya kepada gadis tadi. Dia membuka jendelanya dan bertanya, ”Ada apa?”

Gadis itu, Luce, hanya mendengus kesal terhadap lelaki di depannya dan segera berkata lagi dengan lebih lantang, ”Kau tahu bahwa kau hampir saja mencelakai orang?” Lelaki itu menatap Luce dengan tatapan bingung dan tak mengerti. Oke, aku bisa gila kalau begini terus, pikir Luce. ”Kau” dia menunjuk ke arah lelaki itu. ”hampir menabrak aku.” katanya lagi. Luce melihat lelaki itu terdiam sejenak untuk berpikir kemudian berkata lagi setelah terdiam cukup lama, ”Hampir tertabrak kan? Berarti belum tertabrak dan kurasa kau baik-baik saja untuk orang yang hampir tertabrak.” Jelas sekali terdengar nada sinis dari lelaki itu, tapi Luce tidak habis akal untuk membuat lelaki itu menyesal.

Night hanya menatap gadis itu dengan senyuman kemenangan. Sudah lama sekali dia tidak merasakan hal seperti ini. Dia menunggu apalagi yang akan disampaikan oleh gadis itu. Dia sudah cukup capek untuk meladeni orang. Paling ujung-ujungnya uang, pikir Night. Kesal karena gadis itu tidak menjawabnya, Night berkata dengan dingin seperti biasa, ”Apa yang kau mau? Uang? Kalau itu aku bisa beri berapapun, kau mau berapa?”

Luce merasa terhina oleh ucapan lelaki itu. Dia memerintahkan lelaki itu untuk keluar dari mobil itu. Mulanya lelaki itu enggan, tapi karena Luce terus memaksa akan mengikutinya, lelaki itupun menyerah dan keluar dari mobilnya. Luce menatap lelaki itu baik-baik dan baru menyadari bahwa lelaki itu cukup menarik. Siapapun bisa melihat bahwa dia cukup tinggi untuk seorang lelaki, lebih tinggi malah karena dia lebih tinggi dari Luce yang merupakan wanita tertinggi yang pernah terlihat di daerah itu. Lelaki itu juga cukup menjaga tubuhnya, terbukti dengan badannya yang tegap, otot dan badannya yang kekar. Lelaki itu memakai kemeja putih bergaris berlengan panjang dan celana hitam panjang. Luce berpikir bahwa lelaki itu habis pulang dari kantor dan sepertinya dia orang kantoran yang mendapat penghasilan khusus, terbukti dengan ucapannya yang menghina tadi.

Night merasa kesal ketika gadis itu memaksanya keluar dan yang paling menjengkelkan lagi, gadis itu hanya mengamatinya seolah-olah dia adalah barang yang hendak ia beli. ’Paling-paling dia hanya pura-pura mengatakan itu padahal dia hanya ingin melihatku dari dekat saja. Hah.’ Night menghela nafas. Seharusnya dia sudah tahu itu, dia mengingatkan dirinya lagi. Night bisa berpikir demikian karena dia sudah mengalami banyak hal mirip seperti itu, gadis-gadis yang melihatnya tampan dan ingin dekat dengannya melakukan segala cara untuk berbicara dengan Night. Dan karena dia cukup kaya dengan pekerjaannya, banyak orang pula yang memerasnya dengan cara yang hampir sama. ”Aku tidak seperti yang kau kira.” Akhirnya setelah penantian yang cukup lama, gadis itu membuka suaranya juga. Night hanya tertawa kecil mendengar ucapan itu.

”Jadi, kau orang yang seperti apa?” tanya lelaki itu dengan dingin dan tanpa ekspresi apapun di wajahnya. Kesal dengan ucapannya yang menyakiti hati, Luce menampar lelaki itu sekeras-keras yang dia bisa dan bisa dilihat bahwa lelaki itu bingung, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi dan kemudian dipegangnya pipinya yang sudah mulai memerah itu sambil menatap Luce dengan tatapan bingung. Luce tertawa dalam hati dan menunjukkan senyuman kemenangan. Dia berbalik sambil membawa barang belanjaannya dan segera berjalan untuk pulang ke rumahnya.

Night hanya bisa menatap kepergian Luce dengan bingung. Tidak dipercaya seorang gadis menamparnya? Dan apa alasannya tadi? Oh, hampir tertabrak! Ya, karena alasan itu, dia menampar Night. Sungguh gadis yang unik, pikir Night dan tanpa dia sadari, seulas cengiran terukir di wajahnya, sebuah cengiran atau senyuman yang sudah tidak pernah ia tunjukkan dan yang caranya sudah ia lupakan juga. Gadis yang menarik, pikir Night lagi. Kemudian dia memutuskan untuk segera pulang dan berlalu dari tempat itu agar tidak mencari perhatian. Dia memberitahu dirinya, sesampainya di rumah nanti, dia akan segera mengompres pipi kirinya yang memerah karena tamparan keras dari gadis itu dan setelahnya, ia akan mencari informasi tentang gadis itu, dengan diam-diam dan jangan sampai ketahuan terutama oleh Clyde –atau Altus- karena dia yakin temannya itu pasti akan melontarkan banyak pertanyaan dan pasti memberikan gagasan-gagasan aneh pada Night.

-x-

Gereja Vela de Blanco adalah gereja yang sama seperti gereja lainnya yang tampak terang dan bercahaya di waktu pagi dan tampak begitu gelap dan sedikit menyeramkan pada waktu malam. Penerangan waktu malam hanya dari cahaya lilin dan lampu yang terletak di atas pintu. Jika tidak ada acara di dalam gereja tersebut seperti pernikahan, perayaan natal, atau sebagainya, maka gereja itu akan menghemat listrik semaksimal mungkin agar tidak memboroskan listrik. Tapi, pintu gereja itu tetap terbuka jika ada orang yang mau datang dan berdoa mencari ketenangan.

Pada malam itu, gereja itu begitu sepi. Tak ada orang yang datang. Lagipula, waktu itu sudah jam 12, orang-orang sudah pergi tidur dan menyiapkan energi untuk kegiatan mereka besok hari. Tapi sepertinya, tidak dengan Altus, dia berjalan dengan lunglai ke gereja tersebut dan menyalakan satu lilin yang terletak di atas meja. Setelah menyalakan lilin, dia menuju ke tempatnya yang biasa dan berdoa untuk mengaku segala dosa yang telah dia perbuat. Dia telah terjerumus ke dalam dunia itu dan tidak mudah bagi dirinya untuk keluar. Terlebih lagi, setelah begitu banyak dosa yang telah dia buat, tidak mungkin dirinya dengan mudah dimaafkan.

Saat dia selesai berdoa, dia menatap salib itu dengan tatapan sedih. Kemudian perhatiannya teralih oleh siapapun yang menepok pundaknya dengan pelan.

-x-

Aku sudah berjanji pada ayah dan ibu bahwa aku akan selalu menjaga adikku tersayang. Adik kecilku yang manis. Dia sangat polos dan begitu mudahnya percaya pada orang lain. Tapi, itu adalah sisi baiknya. Sesuatu yang tidak pernah aku miliki, karena aku mudah curiga pada orang lain. Adikku itu sangat baik terhadap orang banyak sehingga orang-orang menyukainya. Berbeda dengan diriku yang tertutup ini. Tapi, adikku sangat baik bahkan kepadaku. Dia tidak peduli walaupun orang memandang aku dengan tatapan menghina, jijik, tapi dia tetap memandangku dan menganggapku sebagai kakaknya.

Mungkin orang berpikir aku aneh, atau mungkin aku tidak seharusnya menjadi kakaknya, tapi aku adalah dan akan selalu menjadi kakaknya. Terlebih lagi, aku harus menjaganya karena amanat dari kedua orang tuaku. Oh, seandainya mereka masih hidup, kami pasti dapat hidup dengan bahagia. Aku tidak akan pernah memaafkan pengemudi mabuk yang telah mencelakakan orang tua kami, tidak akan pernah. Sejak melihat kau menangis pada hari kematian mereka, adikku, kakak bertekad untuk tidak membiarkan dirimu menangis lagi. Kau sudah cukup menderita. Sebagai kakak, aku akan menanggung semuanya.

Kau boleh tenang adikku, karena kakak tidak akan pernah membiarkan apapun menganggumu dan membuatmu sedih. Dan adikku, jika keberadaanku membuatmu sedih, kakak rela untuk pergi dari hadapanmu karena kakak sudah berjanji. Kau tidak perlu bersedih lagi, adikku karena kakak akan selalu melindungimu bahkan dari kakak sekalipun.

-x-



[1] Dua

0 comments:

Post a Comment